Selasa, 05 November 2013

Sastra Indonesia Modern

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia, mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai dengan masa perkembangannya.
Munculnya sastra di Indonesia sebagai salah satu bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Diawali dari berdirinya Boedi Oetomo hingga Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda juga disebutkan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa.
Berbicara tentang sejarah perkembangan sastra, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai upaya menyusun periodisasi sejarah sastra sebagai salah satu kegiatan dalam pengkajian sejarah sastra. Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sementara itu pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra Indonesia berkembang sampai saat ini.
Oleh sebab itu untuk lebih mengetahui periodisasi sastra Indonesia maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang periodisasi sastra Indonesia modern.
B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini ialah bagaimana Periodisasi Sastra Indonesia Modern?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah dapat mengetahui Periodisasi sastra Indonesia Modern

D.     Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.    Bagi pembaca, agar dapat mengetahui periodisasi sastra indonesia modern
2.    Sumbangan terhadap bahan ajar sastra, tentang periodisasi sastra Indonesia modern.

 A. Pengertian Sastra Indonesia modern
1)    Arti Modern
Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak dalam pertentangan dengan kata klasik. Bahkan sebenarnay, istilah sastra Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukanbetapa intensifnya pengaruh barat pada perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu.
 Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu atau sering disebut pula sastra melayu lama/klasik untuk membedakan dengan sastra melayu modern yang berkembang di Malaysia.
2)    Pengertian Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang di sebut sastra Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat dinamakan dan digolongkan kedalam pengertian kesusastraan indonesai apabila:
-    Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia
-    Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya harus masalah-masalah Indonesia
-    Pengarangnya harus bangsa Indonesia (Soemadiwagyo, 1966:2)
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia mencakup tiga unsure persyaratan yaitu bahasa, masalah yang dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa “sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat sastra erat dan saling berjalin (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat ini persyaratan cukup dibatasi pada pembahasannya.
Pendapat lain juga menyatakan sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis dalam Bahasa Indonesia yang isinya memancarkan sikap dan watak Bangsa Indonesia. Jadi, unsure persyaratan ada dua yaitu:
-    Media bahasanya bahasa Indonesia dan
-    Corak isi karangannya mencerminkan sikap watak Bangsa Indonesia didalam memandang suatu masalah

B. Periodisasi Sastra Indonesia Modern
1.    Periodisasi Sastra Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1.    merekrut dewan redaksi secara selektif
2.    membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3.    menentukan kriteria literer
4.    mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
-    Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
-    Alur : Alur Lurus.
-    Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
-    Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
-    Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
-    Corak : Romantis sentimental.
-    Sifat : Didaktis (pendidikan)
-    Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
-    Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
-    Puisinya berbentuk syair dan pantun.
-    Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
-    Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
2.    Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
a)   Latar belakang terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran. 
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
b) Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru    
-  Dinamis
- Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau  romantik  angkatan  Siti  Nurbaya  bersifat  fasip,  sedangkan  angkatan  Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
-   Angkatan  Pujangga  Baru  menggunakan  bahasa  Melayu  modern  dan  sudah meninggalkan  bahasa  klise.  Mereka  berusaha  membuat  ungkapan  dan  gaya  bahasa sendiri.  Pilihan  kata,  Penggabungan  ungkapan  serta  irama  sangat  dipentingkan  oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: 
-    Bentuk  puisi  yang  memegang  peranan  penting  adalah  soneta,  disamping  itu ikatan-ikatan  lain  seperti  quatrain  dan  quint  pun  banyak  dipergunakan.  Sajak jumlah  suku  kata  dan  syarat-syarat  puisi  lainnya  sudah  tidak  mengikat  lagi, kadang-kadang  para  Pujangga  Baru  mengubah  sajak  atau  puisi  yang  pendek-pendek,  cukup  beberapa  bait  saja.  Sajak-sajak  yang  agak  panjang  hanya  ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah. 
-    Tema  dalam  karya  prosa  (roman)  bukan  lagi  pertentangan  faham  kaum  muda dengan  adat  lama  seperti  angkatan  Siti  Nurbaya,  melainkan  perjuangan kemerdekaan  dan  pergerakan  kebangsaan,  misalnya  pada  roman  Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
-    Bentuk  karya  drama  pun  banyak  dihasilkan  pada  masa  Pujangga  Baru  dengan tema  kesadaran  nasional.  Bahannya  ada  yang  diambil  dari  sejarah  dan  ada  pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
3.    Periodisasi Sastra Angkatan 45
 a)     Sejarah Lahirnya Angkatan 45
Jika  diruntut  berdasarkan  periodesasinya,  sastra  Indonesia  Angkatan  ‘45  bisa dikatakan  sebagai  angkatan  ketiga  dalam  lingkup  sastra  baru  Indonesia,    setelah  angkatan Balai  Pustaka  dan    angkatan  Pujangga  Baru.  Munculnya  karya-karya  sastra  Angkatan  ‘45 yang  dipelopori  oleh  Chairil  Anwar  ini  memberi  warna  baru  pada  khazanah  kesusastraan Indonesia.  Bahkan  ada  orang  yang  berpendapat  bahwa  sastra  Indonesia  baru  lahir  dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
 Pada  mulanya  angkatan  ini  disebut  dengan  berbagai  nama,  ada  yang  menyebut Angkatan  Sesudah  Perang,  Angkatan  Chairil  Anwar,  Angkatan  Kemerdekaan,  dan  lain-lain. Baru  pada  tahun  1948,  Rosihan  Anwar  menyebut  angkatan  ini  dengan  nama  Angkatan  ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.  Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum  dirumuskan.
 Baru  pada  tahun  1950  “Surat  Kepercayaan  Gelanggang”  dibuat  dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap  yang menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”.  Masa Chairil Anwar masih hidup.  Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik.
 Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin  dari    sebagian  besar  karya-karya  yang  dihasilkan  oleh  parasastrawan  tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya  yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya  dengan  keprofesionalannya  masih  eksis  menghasilkan  karya-karya  terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu  banyak  orang  yang  memproklamasikan  kelahiran  dan  membela  hak hidup  Angkatan  ‘45,  sebanyak  itu  pulalah  yang  menentangnya.  Armijn  Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya,  yaitu  Angkatan  Pujangga  Baru.  Sutan  Takdir  Alisyahbana  pun  berpendapat demikian.
b)    Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ‘45
- Armijn Pane: Pujangga  Baru  menentang  adanya  Angkatan  ‘45  dan  menganggap  bahwa  tak  ada  yang disebut Angkatan ‘45.
-    Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
-    Teeuw: Memang  berbeda  Angkatan  ‘45  dengan  Angkatan  Pujangga  Baru,  tetapi  ada  garis penghubung,  misalnya  Armijn  Pane  dengan  Belenggu-nya.  (puncak-puncak  kesusastraan Indonesia).
-    Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan  ‘45  dalam  soal  kebudayaan  tidak  membedakan  antara  Barat  dan  Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan.
-   Pramoedya Ananta Toer: Angkatan  Pujangga  Baru  banyak  ilmu  pengetahuannya  tetapi  tidak    banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan  ‘45  kurang  dalam  ilmu  pengetahuan  (karena  perang)  tetapi  sadar  akan kehidupan.
c)    Karakteristik Karya Angkatan 45
-   Bercorak  lebih  realistik  dibanding  karya  Angkatan  Pujangga  Baru  yang    romantik-idealistik.
-    Pengalaman  hidup  dan  gejolak  sosial-politik-budaya  mewarnai  karya  sastrawan Angkatan ’45.
-    Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
-      Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
-     Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
-      Bertujuan universal nasionalis.
-     Bersifat praktis.
-    Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .
4.    Periodisasi Sastra Angkatan 1950
a)    Sejarah Lahirnya Periode ‘50
Slamet  Muljono  pernah  menyebut  bahwa  sastrawan  Angkatan 50  hanyalah  pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan  yang  mendalam  dan  menyeluruh  membuktikan  bahwa  masa  ini  pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu: 
a.    Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
b.    Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode  ‘50  tidak  hanya  pengekor  (epigon)  dari  angkatan  ‘45,  melainkan  merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan.  Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
-       Pusat  kegiatan  sastra  makin  banyak  jumlahnya  dan  makin  meluas  daerahnya  hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
-     Terdapat  pengungkapan  yang  lebih  mendalam  terhadap  kebudayaan  daerah  dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
-     Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih  kepada  peleburan  (kristalisasi)  antara  ilmu  dan  pengetahuan  asing  dengan perasaan dan ukuran nasional.
b)    Ciri-ciri Periode 50-an
Angkatan  50-an  ditandai  dengan  terbitnya  majalah  sastra  Kisah  asuhan  H.B.  Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah Pada  angkatan  ini  muncul  gerakan  komunis  dikalangan  sastrawan  yang  bergabung dalam  Lembaga  Kebudayaan  Rakyat  (Lekra),  yang  berkonsep  sastra  realisme  sosialis. Timbullah  perpecahan  antara  sastrawan  sehingga  menyebabkan  mandegnya  perkembangan sastra,  karena  masuk  ke  dalam  politik  praktis,  sampai  berakhir  pada  tahun  1965  dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a.    Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b.  Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c.    Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d.   Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.  
c)    Masalah yang Dihadapi Periode 50
- Angkatan ’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang  singkat  dan    tidak  menentu,  di  tambah  penempatan  pemimpin  yang  bukan  ahli, sehingga  tidak  dapat  mengelola  anggaran  yang  tersedia    yang  berakibat  macetnya  produksi karya.
-    Setelah  Balai  Pustaka  yang  mengalami  kesulitan  penerbitan,  penerbit    yang  lainnya  pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.
-     Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek,    sesuai  dengan  kebutuhan  majalah-majalah  tersebut,  maka  tak  anehlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang  cerpen, sajak dan karangan-karangan  lain  yang  pendek-pendek.  Keadaan  seperti  itulah  yang  menyebabkan  lahirnya  istilah sastra  majalah.  Istilah  ini  dilansir  dan  diperkenelkan  oleh  Nugroho  Notosusanto  dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya.
5.    Periodisasi SastraAngkatan 1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut:
-    mempunyai konsepsi Pancasila
-    menggemakan protes sosial dan politik
-    membawa kesadaran nurani manusia
-    mempunyai kesadaran akan moral dan agama




6.    Periodisasi Sastra Angkatan 70-an
Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut:
-    Kritik Rezim Orde Baru
-    Wacana Urban dan Adsurditas
-    Kritik Pemerintah terus berjalan
-    Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
-    Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
-    Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas.
7.    Periodisasi Sastra Angkatan 2000-an sampai sekarang
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasih muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karna tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmad Yosi Herfanda, dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada 1990-an  seperti Ayu Utami, dan Dhorotea Rosa Herliany.
           Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
a.     Ayu Utami
-      Saman (1998)
-     Larung (2001)
b.    Seno Gumira Ajidarma
-    Atas Nama Malam
-    Sepotong Senja Untuk Pacarku
   Biola Tak Berdawai
c. Dewi Lestari
-    Supernova 1: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh (2001)
-    Supernova 2.1: Akar (2002)
-    Supernova 2.2: Petir (2004)
d. Raudal Tanjung Banua
-    Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
-    Ziarah Bagi Yang Hidup (2004)
-    Perang Tak Berulu (2005)
-     Gugusan Mata Ibu (2005)
e. Habiburrahman El Shirazy
-    Ayat-ayat Cinta (2004)
-    Di Atas Sajadah Cinta (2004)
-    Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
-    Pudarnya Pesona Cleopatra(2005)
-    Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
-    Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
-    Dalam Mihrab Cinta (2007)
f. Andrea Hirata
-    Laskar Pelangi (2005)
-    Sang Pemimpi (2006)
-    Edensor (2007)
-    Maryamah Karpov (2008)
-    Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
g.  Ahmad Faudi
-    Negeri Lima Menara (2009)
-    Ranah Tiga Warna (2011)
h. Tosa
-    Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
-    Melan Conis (2009)





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan materi yang sudah di uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
 Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia, mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai dengan masa perkembangannya.
Periodisasi sastra Indonesia modern yaitu:
-    Periodisasi sastra angkatan Balai Poestaka (1920-1933)
-     Periodisasi sastra angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
-    Periodisasi sastra angkatan 1945
-    Periodisasi sastra angkatan 1950-an
-    Periodisasi sastra angkatan 1966
-    Periodisasi sastra angkatan 1970-an
-    Periodisasi sastra angkatan 2000-an sampai sekarang
B.    Saran
Berdasarkan kesimpulan penulisan makalah ini maka dikemukakan saran sebagai berikut..
-    Periodisasi sastra Indonesia modern sangatlah penting dipelajari karena     merupakan bagian dari perkembangan sejarah sastra Indonesia
-    Sejarah sastra Indonesia perlu diketahui perkembangannya dari waktu ke waktu.

Sumber

http://www.scribd.com/doc/21785947/Sejarah http://www.scribd.com/doc/13800606/Periodisasi sastra Indonesia Modern
http://community.gunadarma.ac.id/user/blogs/view/name_pinkers/id_10943/title_Periodisasi sastra secara umum
http://ronald-koeman.blogspot.com/2012/10/perkembangan-Sastra.html
http://sekeping-episode-kehidupan.blogspot.com/2012/06/sejarah-perkembangan-Sastra -indonesia.html

jurnalistik

           KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusus dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah menulis Program Studi Pendidikan Bhasa dan Sastra Indonesia.
Dalam penulisan makalah ini pastilah    ada banyak kendala yang kami temukan, namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik   dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya  dan bagi  pembaca umumnya.

Kendari, 2 April 2013

Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………................. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………… iii

Bab 1. PENDAHULUAN
1.1.    Latar  Belakang………………………………………………………………
1.2.    Rumusan Masalah………………………………………………………..…..
1.3.    Tujuan dan Manfaat………………………………………………


Bab 11. PEMBAHASAN
      2. 1  Pengertian Jurnalistik……………………………………………………………………
      2.2  Perkembangan Jurnalistik…………………………………………………………………
      2.3  Bentuk Jurnalistik………………………………………………………….
      2.4  Produk Jurnalistik……………………..

Bab 111. PENUTUP
      3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………
      3.2 Saran………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..


BAB I
        PENDAHULUAN

1.1    LatarBelakang
Dewasa  ini pengertian jurnalistik tidak hanya sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dsb. Namun, meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televise. Berdasarkan media yang digunakan  meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online journalism).
Setiap bentuk jurnalistik memiliki cirri dan kekhasannya masing-masing.  Cirri dan kekhasannya itu antara lain terletak pada aspek filosofi penerbitan, dinamika teknis persiapan dan pengelolaan, serta asumsi dampak  yang ditimbulkan terhadap khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.  Bab ini membahas  beberapa aspek pokok yang berkaitan dengan jurnalistik yakni pengertian jurnalistik, sekilas perkembangan jurnalistik, bentuk-bentuk jurnalistik, produk jurnalistik.

1.2    RumusanMasalah
Masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian jurnalistik?
2.    Bagaimana perkembangan jurnalistik?
3.    Apa saja bentuk jurnalistik?
4.    Apa saja produk jurnalistik?

1.3    Tujuan Makalah
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pengertian  jurnalistik, perkembangan jurnalistik, bentuk jurnalistik, produk jurnalistik.

1.4    Manfaat  Makalah
Manfaat  yang diharapkan dalam makalah ini adalah sebagai bahan informasi bagi pelajar dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran jurnalistik.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Jurnalistik
Secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, meyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. 
2.2  PerkembanganJurnalistik
  Kelahiran Wartawan Pertama
Pada zaman Romawi lahir wartawan-wartawan pertama.Terdiri atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
  Jurnalistik di Eropa
Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada 1609. Sembilan tahun kemudian, surat  kabar  tertua bernama Courante Uyt Italian en Duytschland terbit di Belanda. Pada 1662 Curant of General News terbit di Inggris.
  Zaman Penjajahan di Indonesia
Jurnalistik  pers mulai dikenal pada 1744 ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda. Pada abad 20, Medan Prijaji sebagai surat kabar pertama milik bangsa Indonesia terbit di Bandung. Medan Prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono.

  Jurnalistik dalam Orde Reformasi
Sejak kejatuhan rezim Soeharto, kebebasan jurnalistik berubah secara drastic  menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabutnya wapers dibubarkan.
UU Pokok Pers No.21/1982 diganti dengan UU Pokok Pers No.40/1999.Siapa pun bias menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bias menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun.

2.3  Bentuk Jurnalisme
Jurnalistik dibagi menjadi tiga bagian besar:
1. Jurnalistik media cetak (newspaper and magazine journalism)
2. Jurnalistik media elektronik auditif (radio broadcast  journalism)
3. Jurnalistik audio visual (television journalism)

2.4  Produk Jurnalistik
Produk jurnalistik adalah surat kabar, tabloid, majalah, buletin, atau berkalanya seperti radio, televisi, dan media on-line internet.
Produk itu dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Berita (news), meliputi:
a. Berita langsung (straight news)
b. Berita menyeluruh (comprehensive news)
c. Berita mendalam (depth news)
d. Laporan mendalam (depth reporting)
e. Berita penyelidikan (investigative news)
f. Berita khas (feature news)
g. Berita gambar (photo news)

2. Opini (views)
Meliputi: tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, kolom, esai, dan surat pembaca.
3. Iklan (advertising)
Dari ketiganya, hanya news dan views yang termasuk produk jurnalistik, sementara iklan bukan produk jurnalistik meskipun teknik yang digunakan merujuk pada teknik jurnalistik.



BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam makalah, dapat disimpulkan bahwa jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, meyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. 

3.2  Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dalam makalah diharapkan penyusunan makalah yang berkaitan dengan jurnalistik dapat membahas lebih mendalam lagi agar pembaca mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih banyak lagi tentang jurnalistik.


DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. 2005. "Dasar-Dasar Jurnalistik: Makalah  yang disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik -- Info Jawa 12-15 Desember 2005. Dalam www.info jawa.org.
Ishwara, Luwi. 2005. "Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar". Jakarta:  Kompas.
Putra, R. Masri Sareb. 2006. "Teknik Menulis Berita dan Feature". Jakarta: Indeks
Sumadiria. Laris.2005.  Jurnalistik Indonesia.  Bandung:  Simbiosa Pekatama Media.

kode etik jurnalistik



BAB I
            PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Wartawan adalah sebuah profesi.Dengan kata lain,wartawan adalah seorang profesional. Seperti halnya dokter, bidan, guru atau pengacara. Dalam menjalankan profesinya, seorang wartawan harus dengan sadar menjalankan tugas, hak, kewajiban dan fungsinya yakni mengemukakan apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai seorang profesional, seorang wartawan harus turun ke lapangan untuk meliput suatu peristiwayang bisa terjadi kapan saja. Bahkan, wartawan kadangkala harus bekerja menghadapi bahaya untuk mendapatkan berita terbaru dan original.
            itu wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik, misalnya wartawan tidak menyebarkan berita yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. wartawan menghargai dan menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan tidak dibenarkan menjiplak, wartawan tidak diperkenankan menerima sogokan, dsb. Dalam melaksanakan kode etik junelistik tidak semudah membalikkan telapak tangan. banyak hambatan yang harus dilalui untuk menjadi wartawan yang profesional.
kode etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Penetapan kode etik guna menjamin tegakanya kebebasan pers serta terpenuhinya hak – hak masyarakat.
Wartawan memiliki kebebasan pers yakni kebebasan mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Meskipun demikian, kebebasan disini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.
1.2 Tujuan
Suatu sistem pers di Indonesia bagaimana sebaiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Pers dalam sejarah Indonesia memiliki peran yang efektif debagai jembatan komunikasi timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri.
Pers sebagai salah satu unsur media masa yang hadir ditengah masyarakat bersama dengan lembaga masyarakat alinnya harus mampu menjadikan diri sebagai forum pertukaran fikiran, komenter, dan kritik yang bersifat menyeluruh dan tuntas, tidak membedakankelompok, golongan dan agama.
Pers dalam kehidupannya memiliki tanggung jawab yang harus dipikul dalam konteksnya sebagai media. Macam dan sifat tanggung jawab pers bersifat relatif di tiap negara namun pada dasarnya semua tanggung jawab tersebut berlandaskan pada Kode etik pers yang mana merupakan dasar dari cara kerja pers. Dalam bekerja pers harus mempertanggung jawabkan pekerjaannya terhadap beberapa pihak yakni :
1.Tanggung jawab kepada media tempatnya bekerja
2.tanggung jawab sosial atas kewajibannya dalam menyampaikan informasi kepada publik secara keseluruhan
3.tanggung jawab dan kewajiban pada UU yang ada.
4.Tanggung jawab kepada masyarakat luas sehubungan dengan silai – nilai universal.
Makalah ini disusun dengan tujuan agar Pembaca mengerti terhadap kode etik yang ada pada tubuh pers, sehingga bagi mereka yang memiliki cita –cita dalam bidang jurnalistik akan mengerti terhadap apa yang dimaksud dengan kode atik pers.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Setelah membaca dan mempelajari materi dari kode etik jurnalistik secara garis besar kami telah mendapatkan rumusan masalah dari makalah ini yang disusun secara sistematis yakni sebagai berikut :
1.Apa yang dimaksud dengan kode etik jurnalistik ?
2.bagaimana sistem pers di Indonesia ?
3.Jelaskan UU pers di Indonesia !
4.Apa yang dimaksud Etika Pers ?
5.Bagaimanaah pers yang bebas dan bertanggung jawab ?
6.Apa yang dimaksud pers pancasila ?
7.Apa saja macam dan sifat tanggung jawab pers ?
8.Sebutkan dan jelaskan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KEJ !
BABIII
PEMECAHAN MASALAH
Kode etik jurnalistik (KEJ) merupakan aturan mengenai perilaku dan pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam siarannya. Kode Etik Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang antara lain :
1.Berita diperoleh dengan cara jujur
2.Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum disiarkan (check dan recheck).
3.Sebisanya membedakan yang nyata (fact) dan pendapat (opinion)
4.Menghargai dan melindungi kedudukan sumber yang tidak mau disebut namanya.
5.Tidak memberitakan berita yang diberikan secara off the record (four eyes only)
6.Dengan jujur menyebutkan sumber dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi
Ketika Indonesia memasuki ere reformasi dengn berakhirnya rezim orde baru, organisasi wartawan yang awalnya tunggal yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka KEJ pun hanya berlaku bagi wartawan anggota dari PWI. Namun demikian, organisasi jurnalistik lainnya pun merasa akan pentingnya kode etik jurnalistik. Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan Menandatangani Kode Etiik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI perintikan tujuh hal sebagai berikut. :
1.Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis dalam memperoleh dan menyiarkan informasi dan memberikan identitas kepada sumber informasi.
3.Wartawan Indonesia menghormati asas praduga takbersalah, tidak mencampur adukkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.Wartawan Indonesia tidak menyebarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban jejahatan susila.
5.Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargoinformasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan .
7.Wartawan segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan dewan pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 juni tahun 2000. Penerapak kode etik itu juga menjamin tegakknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak – hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi sebagai landasan moral atau etika profesi yang bisa jadi pedoman profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi ata pelanggaran Kode Etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajarn pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal ini jika memang benar –benar ingin menegakkan citradan posisi wartawan sebagai kaum profesional. Paling tidak KWI diawasi secara Internal oleh pemilik atau manajemen radaksi masing – masing media masa.
Pers dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, haruslah menghormati hak asasi setiap orang. Oleh sebab itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka. Pers memiliki peranan penting dalam menegakkan HAM. Pers Juga elaksanakan kontrol sosial (Social Control) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keuasaan baik korupsi, kolusi dan nepotisme. maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Suatu sistem pers di Indonesia diciptakan untukmnentukan begaimana seharusnya pers dapat menjalankan kebebasan dan tanggung jawabnya. Pers dalam sejarah Indonesia memiliki peran yang efektif debagai jembatan komunikasi timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, sistem pers di Indonesia tidak lain adalas sistep pers yang berlaku di Indonesia. Kata Indonesia adalah pemberi, sifat, warna, dan kekhasan pasda sistem pers tersebut. Dalam kenyataan dapat ditemukan perbedaan – perbedaan esensial sistem pers Indonesia dari satu periode ke periode yang lain. misalnya sistem pers demokrasi liberal, sistem pers demokrasi terpimpin, sistem pers demokrasi Pancasila dan sistem pers di era reformasi, meskipun falsafah negara tidak berubah.
Pers Indonesia diatur dalam UU pers No. 40 Tahn 1999. Ini merupakan UU pers yang baru, memuat berbagai perubahan sistem pers yang mendasar atau sistem pers sebelumnya. hal ini dimaksudkan afgar pers berfungsi secara maksimal seperti diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945. Fungsi yang maksimal tersebut diperlukan karena kemerdekaan pers adalah suatu perwujudan kedaulata rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyaralkat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Pencabutan undang undang yang lama dan digantikannya denga yang baru hakikatnya merupakan pencerminan adanya perbedaan nilai – nilai dasar politis ideologis antara orde baru dengan orde reformasi. hal ini tampak jelas pada konsideransi undang – undang pers yang baru. Dalam konsideransi itu antara lain dinyatakan bahwa undang – undang tentang ketentuan pers yang lama dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembanngan zaman.
Lahirnya UU pers yang baru Mno. 40 tahun 1999 didasarkan atas pertimbangan bahwa UU No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah lagi dengan UU Nu. 04 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 Tahun 1982. Dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Falsafah di bidang moral pers yaitu mengenai kewajiban – kewajiban pers, baik dan buruknya ers, pers yang benar, dan pers yang mengatur perilaku pers di namakan etika pers. Dengan kata lain, etika pers berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan orang – orang yang terlibat dalam kegiatan pera. Sumber etika pers adalah kesadaran moral, yaitu pengetahuan baik dan buruk, benar dan salah, tepat maupun tidak bagi orang yang terlibat dalam kegiatan pers.
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyebutkan, Kebebasan pers terjamin sebagai hak asasi warga negara., bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 1). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dikenai tindak pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau denda Rp. 500 jt (pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian kebebasan disini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma – norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas preduga tak bersalah (pasal 5 ayat 1).
Seluruh wartawan Indonesia harus menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma – norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perbedaan abadi, dan keadilan sosial berdasarkan pancasila
Prof. Oemar Sono Adji, dalam bukunya berjudul “Hukum Kebebasan Pers ” mengutip J.C.T Simorangkir, SH, menyimpulkan mengenai kebebasan pers di ndonesia, adalah sebagai berikut :
1.Hukum Indonesia telah mengakui/ mengatur / menjamin perihal perilaku kebebasan pers.
2.Kebebasan pers Indonesia tidak dapat dilihat / diukur semata – mata dengan kaca mata luar negeri.
3.Ciri kebebasan pers di Indonesia adalah :
a.pers bebas yang bertanggung jawab.
b.Pers yang sehat.
c.Pers sebagai penyebar informasi yang objektif.
d.Pers sebagai penyalur aspirasi rakyat dan meluangkan komunikasi dan partisipatif masyarakat.
e.Pers yang melakukan kontrol konstruktif
f.Terdapat interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.
4.Kebebasan Pers diakui, dijamin dan dilaksanakan di Indonesia dalam rangka melaksanakan demokrasi Pancasila.
Menurut S. Tasrif tentangdiakui dan dijaminnya kebebasan pers dalm suatu negara, apabila negara yang bersangkutan memiliki tiga syarat berikut :
1.Tidak ada kewajiban menurut hukum untuk meminta surat izin terbit bagi penerbitan pers.
2.Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintahan untuk melakukan penyensoran.
3.Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintahan untuk melakukan penerbitan pers
Pers sebagai salah satu unsur media masa yang hadir ditengah masyarakat bersama dengan lembaga masyarakat alinnya harus mampu menjadikan diri sebagai forum pertukaran fikiran, komenter, dan kritik yang bersifat menyeluruh dan tuntas, tidak membedakankelompok, golongan dan agama. Semuanya harus mendapat porsi yang seimbang. Jika ada masalah dalam masyarakat, pers berupaya untuk menjernihkan persoalan, dan bukannya menambah keruhnya masalah yang ada.
Kehidupan pers nasional Indonesia merupakan produk dari sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang kemudian diproyeksikan dalam bentuk kegiatan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan jurnalistik pers nasional harus berlandaskan dengan :
1.Landasan Idiil : Falsafah pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2.Landasan Konstitusional : UUD 1945
3.Landasan yuridis : Undang – Undang Pokok pers
4.Landasan Profesional : Kode Etik Jurnalistik
5.Landasan etis : Tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Pers dalam kehidupannya memiliki tanggung jawab yang harus dipikul dalam konteksnya sebagai media. Macam dan sifat tanggung jawab pers bersifat relatif di tiap negara namun pada dasarnya semua tanggung jawab tersebut berlandaskan pada Kode etik pers yang mana merupakan dasar dari cara kerja pers. Dalam bekerja pers harus mempertanggung jawabkan pekerjaannya terhadap beberapa pihak yakni :
5.Tanggung jawab kepada media tempatnya bekerja
6.tanggung jawab sosial atas kewajibannya dalam menyampaikan informasi kepada publik secara keseluruhan
7.tanggung jawab dan kewajiban pada UU yang ada.
8.Tanggung jawab kepada masyarakat luas sehubungan dengan silai – nilai universal.
Tanggung jawab bersifat formal karena didalam Negara hokum, setiap kekuasaan memiliki ketentuan hukum tersebut.
Tnggung jawab moral memberikan jiwa dan semangat kepada tanggimg jawab formal. Bertolak dari tanggung jawab moral, tanggung jawab formalharus diihat kritis dan realistis. Tanggung jawab pers memberikan sumbangan pikiran agar ketentuan formal dapat selalu diprrbaharui tanggung jawab formal harus fleksibel dan tidak menghambat pembangunan nasional.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pers Indonesia atau pers pancasila yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan nilai – nilai pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pers pembangunan merupakan pers pancasila dalam pembangunan Indonesia yang berbangsa, bermasyarakat dan berngara.
Pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya merupakan sikap dari pers Indonesia yaitu sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, dan penyalur aspirasi masyarakat. Dengan adanya pers Indonesia (pers pancasila) maka rasa saling percaya dalam tujuannya untuk mencapai masyarakat yang bebas, demokratis dan bertanggung jawab.
Selain itu wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik, misalnya wartawan tidak menyebarkan berita yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. wartawan menghargai dan menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan tidak dibenarkan menjiplak, wartawan tidak diperkenankan menerima sogokan, dsb. Dalam melaksanakan kode etik junelistik tidak semudah membalikkan telapak tangan. banyak hambatan yang harus dilalui untuk menjadi wartawan yang profesional.
Pers sebagai salah satu unsur media masa yang hadir ditengah masyarakat bersama dengan lembaga masyarakat alinnya harus mampu menjadikan diri sebagai forum pertukaran fikiran, komenter, dan kritik yang bersifat menyeluruh dan tuntas, tidak membedakankelompok, golongan dan agama. Semuanya harus mendapat porsi yang seimbang. Jika ada masalah dalam masyarakat, pers berupaya untuk menjernihkan persoalan, dan bukannya menambah keruhnya masalah yang ada.
4.2 Saran
Pers dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, haruslah menghormati hak asasi setiap orang. Oleh sebab itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka. Pers memiliki peranan penting dalam menegakkan HAM. Pers Juga elaksanakan kontrol sosial (Social Control) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keuasaan baik korupsi, kolusi dan nepotisme. maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Suatu sistem pers di Indonesia diciptakan untukmnentukan begaimana seharusnya pers dapat menjalankan kebebasan dan tanggung jawabnya. Pers dalam sejarah Indonesia memiliki peran yang efektif debagai jembatan komunikasi timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri.
Seluruh wartawan Indonesia harus menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma – norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perbedaan abadi, dan keadilan sosial berdasarkan pancasila.
Diharapkan dengan semakin berjalannya waktu cara kerja dan etika pers menjadi lebih baik sehingga wartawan atau pers di Indonesia lebih dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto.2005.Kewarganegaaanuntuk SMA Kelas XII. Jakarta : Erlangga
Djzazuli, HM.2007.Kewarganegaraan 3 Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Yudhistira
Tim MGMP SMA/MA kab Mojokerto.2006.PPKN Kelas XII semester ganjil. Mojokerto: Media Gravika
Tim MGMP SMA/MA kab Mojokerto.2007.Pendidikan Kewarganegaraan Kelas XII Semester Gasal.Mojokerto:Media gravika
http://www.Wikipedia.com
http://www.googleknol.com
http://www.ziddu.com
http://www.tauga.com
About these ads
Posted by fuadmje on November 6, 2011 in MAKALAH.
2 Komentar

Tentang fuadmje
hidup harus berguna untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat , negara dan agama
Lihat semua tulisan oleh fuadmje »
»
1.     Riska Rusmiasih mengatakan:
Oktober 7, 2012 pada 9:37
Terimakasih, ini sangat membantu 
Balas
o     fuadmje mengatakan:
November 19, 2012 pada 9:37
sama sama,,,, kpn2 brkunjung lg
Balas
Tinggalkan Balasan
 
Navigasi tulisan
← Previous Post Next Post →
•    MENJE

•   
November 2011
K    J    S    M    S    S    R
« Mei
     Des »

     1    2
3    4
5
6
7
8    9
10    11    12    13    14    15    16
17    18    19    20    21    22    23
24    25    26    27    28    29    30
•   
Blog pada WordPress.com. | Tema: Selecta oleh Obox Themes.
Ikuti
Follow “Fuadmje's Blog”
Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

PERIODISASI SASTRA INDONESIA


Periodisasi sastra Indonesia menurut:
a.    Bujung Saleh
b.    H.B. Jasin
c.    Nugroho Notosusanto
d.    Ajib Rosidi

A.    Periodisasi sastra Indonesia menurut Bujung Saleh

Periodisasi sastra menurut Buyung Saleh adalah jangka yang panjang atau pendek dalam perkembangan sastra yang menunjukka ciri khas karya sastra.
Periodisasi satra menurut Bujung Saleh dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Kesussastraan lama
Karya sastra pada kesusastraan lama masih berkisar pada cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng, mantra, dan hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries .
   b.   Kesusastraan Peralihan
Kesusastraan peralihan dipelopori oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Karya masa peralihan telah meninggalkan kebiasaan lama yang bersifat istana sentries menjadi karya yang lebih realistis. Hasil karya sastra yang terkenal, yaitu Hikayat Abdullah.
c.   Kesusastraan Baru
1)    Angkatan Balai Pustaka (angkatan 20)
Angkatan Balai Pustaka berdiri pada tahun 1920 oleh penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Karya sastra dan penulis angkatan ini, yaitu Azab dan Sengsara karya Merari Seregar (1920), Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1920), dan Salah Asuhan karya Abdul Muis (1928).
2)    Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 33)
Pujangga Baru adalah sebuah nama majalah yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Sastra Pujangga Baru cenderung kearah nasionalis, tetapi termasuk juga sastra idealistik dan romantik. Karya sastra dan penulis angkatan ini, yaitu Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936), Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka (1938), dan Belenggu karya Armijn Pane (1940).
3)    Angkatan 1945
Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik – idealistik. Karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Karya Sastra angkatan ini, yaitu puisi berjudul Kerikil Tajam karya Chairil Anwar (1949), Atheis karya Achdiat Karta Mihardja (1949), dan Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Menuju Roma karya Idrus (1948).
4)    Angkatan 1966
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Menurut HB. Jassin karya sastra angkatan ini mempunyai konsepsi Pancasila, menggemakan protes sosial, politik, dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama. Karya sastra angkatan ini, yaitu puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail, Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri, dan Dukamu Abadi karya Sapardi Djoko Damono.

B.    Periode sastra Indonesia Menurut H.B. jasin
Beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi sastra) sejarah sastra Indonesia. Salah satunya adalah H.B. Jassin. Periodisasi sastra yang dikemukakan H.B.Jassin adalah Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern. Untuk lebih jelasnya akan di uraikan sebagai berikut:
1) Pe r i o d e  Sa s t r a M e l a y u
a. P r o s a  d a n  P u i s i
Sastra Melayu muncul sejak bahasa Melayu itu sendiri muncul pertama kali. Bahasa Melayu berasal dari daerah Riau dan Malaka, berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok nusantara dibawa oleh pedagang. Pada ragam karya sastra puisi, Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantera, pantun, syair. Kemudian, bermunculan pantun kilat (karmina), seloka, talibun, dan gurindam. Sedangkan pada ragam karya sastra prosa, Sastra Melayu yang pertama berbentuk cerita-cerita pelipur lara, dan dongeng-dongeng. Dongeng meliputi legenda, sage, fabel, parabel, mite, dan cerita jenaka atau orang-orang malang/pandir.Bahkan, ragam karya sastra melayu ada yang berbentuk hikayat, tambo, cerita berbingkai, dan wiracarita (cerita panji). Pada cerita dongeng sering isinya mengenai cerita kerajaan (istanasentris) dan fantastis. Kadang-kadang cerita tersebut di luar jangkuan akal manusia (pralogis).
Sebelum masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya sastra tersebut disampaikan secara lisan kurang lebih tahun 1500. Penyebarannya hanya dari mulut ke mulut dan bersifat statis. Namun, setelah masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya tersebut mulai dituliskan oleh para ahli sastra masa itu tanpa menyebut pengarangnya dan tanggal penulisannya (anonim).
Sastra Melayu sangat dipengaruhi oleh sastra Islam sehingga banyak terdapat kata-kata yang sukar karena jarang didengar. Alat penyampainya adalah bahasa Arab-Melayu dengan huruf Arab gundul sehingga sering menimbulkan bahasa yang klise. Di sisi lain, karya-karya sastra yang dihasilkan selalu berisikan hal-hal yang bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Cara penulisannya pun terkungkung kuat oleh aturan-aturan klasik, terutama puisi. Aturan-aturan itu meliputi masalah irama, ritme, persajakan atau rima yang teratur.
b. Dr a m a
Drama di tanah air sudah hidup sejah zaman Melayu. Bahasa yang digunakan masyarakat Melayu pada waktu itu adalah bahasa Melayu Pasar (bahasa Melayu Rendah). Rombongan drama yang terkenal pada masa ini adalah Komedie Stamboel. Komedie Stamboel ini didirikan oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Kemudian, Komedie ini pecah menjadi Komedie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, Wilhelmina, Sianr Bintang Hindia.
Naskah drama yang pertama kali ditulis berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Lakon drama ini ditulis oleh F. Wiggers tahun 1901.
2)  P e r i o d e  S a s t r a  I n d o n e s i a M o d e r n
Sastra Indonesia modern adalah sastra yang berkembang setelah pertemuandengan kebudayaan Eropa dan mendapat pengaruh darinya. Sastra Indonesia modern terbagi menjadi:
a.  An g k a t a n  20  ( B a l a i  P u s t a k a )
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu.
Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
(1). Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.
(2). Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
(3). Menerima karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.
Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka.
Balai Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakantaman-taman perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:
(1). Sari Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1919)
(2). Panji Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1923)
(3). Kejawen (dalam Bahasa Jawa)
(4). Parahiangan (dalam Bahasa Sunda)
Ketiga majalah yang terakhir itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh. Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra, diantaranya:
(1). Pr o s a
(a). Ro m a n
Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat.
 (b). Ce r p e n
Sebagian besar cerpen Angkatan 20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa dan masalah adat sudah tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan antara golongan tua dan golongan muda praktis golongan muda menang.
Bahan cerita diambil dari kehidupan sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan. Cerita-cerita pendek itu mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya yang bersifat humor dan sering berupa kritik.
Kebanyakan dari cerita-cerita pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan menjadi kitab. Misalnya:
(1).Teman Duduk karya Muhammad kasim
(2).Kawan bergelut karya Suman H.S.
(3).Di Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka
(4).Taman Penghibur Hati karya Saadah Aim
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:
(1). Menggambarkan pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.
(2). Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.
(3). Adanya kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.
(4). Banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak       terpelihara kebakuannya.
(5). Adanya analisis jiwa.
(6). Adanya kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan kebangsawanan daerah.
(7). Kontra antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.
(8). Cerita bermain pada zamannya.
(9). Pada umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau, sebab pengarang banyak berasal dari daerah sana.
(10). Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.
(11). Corak lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala sesuatu yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.
(2). Dr a m a
Pada masa angkatan 20 mulai terdapat drama, seperti:
Bebasari karya Rustam Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di samping itu, Bebasari merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda.
Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan.
Gadis Modern karya Adlim Afandi merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas dasar cinta.
Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari Pararaton.
Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore.
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata karya Moh. Yamin.
(3). Pu i s i
Sebagian besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra.
Perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia. Pembaharuannya dapat dilihat dalam kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.
Perhatikan kutipan puisi di bawah ini:
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagi pula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Dibandingkan dengan puisi lama, puisi tersebut sudah merupakan revolusi:
(1). Dari segi isi, puisi itu merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia.
(2). Dari segi bentuk, jumlah barisnya sudah tidak empat, seperti syair dan pantun, dan persajakkannya (rima) tidak sama.
Pengarang berikutnya pada masa angkatan 20 di bidang puisi adalahRustam Effendi.Rustam Effendi dipandang sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin mengenalkan puisi baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai pembawa soneta di Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi pada tahun 1924 adalah Percikan Permenungan.
Penyair berikutnya adalah Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:
(1). Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)
(2). Puspa Mega (1927)
(3). Madah Kelana (1931)
Sajak yang pertama kali dibuat adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah sekolah Yong Sumatra.
Dengan demikian, ciri-ciri puisi pada periode angkatan 20, yaitu:
(1). Masih banyak berbentuk syair dan pantun.
(2). Puisi bersifat dikdaktis.
b. A n g k a t a n 33 ( P u j a n g g a  B a r u )
Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal.
Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:
(a). R o m a n
Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.
Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane (1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar, 1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).
(b). N o v e l / C e r p e n
Kalangan Pujangga Baru (angkatan 33) tidak banyak menghasilkan novel/cerpen.
Beberapa pengarang tersebut, antara lain:
(1). Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.
Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953).
(2). Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.
(c). E s s a y dan k r i t i k
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal masyarakat umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif di kalangan Pujangga Baru adalah STA.Selain itu, pengarang essay lainnya adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan Indonesia, Armyn Pane dengan essai Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan, Sutan Syahrir dengan essai Kesusasteraan dengan Rakyat, Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana Kemajuan Kita.
(d). D r a m a
Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkan kebesaran dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasa kebangsaan. Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru.
 (e). P u i s i
Isi puisi angkatan 33 ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air, antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3 seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai), oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal tersebut tampak dalam kumpulan sanjak:
Puspa Mega karya Sanusi Pane
Madah Kelana karya Sanusi Pane
Tebaran Mega karya STA
Buah Rindu karya Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah
Percikan Pemenungan karya Rustam effendi
Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng
Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir Hamzah. Kumpulan sanjaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 33 ini yaitu:
(1). Tema utama adalah persatuan.
(2). Beraliran Romantis Idialis.
(3). Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Bewlanda.
(4). Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.
(5). Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.
(6). Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.
(7). Isi bercorak idealisme
(8). Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.
c . A n g k a t a n 4 5
Angkatan 45 disebut juga sebagai Angkatan Chairil Anwar atau angkatan kemerdekaan. Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar, sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yang terkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah
Karya-karya yang lahir pada masa angkatan 45 ini sangat berbeda dari karya sastra masa sebelumnya. Ciri khas angkatan 45 ini yaitu bebas, individualistis, universalistik, realistik, futuristik.
Karya sastra pada masa angkatan 45 ini adalah Deru Campur Debu (kumpulan puisi, 1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput (kumpulan puisi, 1949), Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi, 1950). Ketiga karya tersebut diciptakan oleh Chairil Anwar. Di samping itu, karya sastra angkatan 45 lain adalah Surat Kertas hijau (kumpulan puisi) karya Sitor Sitomorang, Bunga Rumah Makan (drama) karya Utuy Tatang Sontani, Sedih dan Gembira (drama) karya Usmar Ismail, Surat Singkat Tentang Essai (buku kumpulan Essai) karya Asrul Sani, Kesusasteraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Essai (Kupasan kritik dan essai tentang sastra Indonesia) karya H.B.Jassin, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (kumpulan cerpen) karya Idrus, Atheis (roman) karya Achdiat Karta Miharja, Chairil anwar. Pelopor Angkatan 45 (essai) karya H.B.Jassin, dan sebagainya.
(4). An g k a t a n 66
Nama angkatan 66 dikemukakan oleh H.B.Jassin. Angkatan 66 muncul di tengah-tengah keadaan politik bangsa Indonesia yang sedang kacau. Kekacauan politik itu terjadi karena adanya teror PKI. Akibat kekacauan politik itu, membuat keadaan bangsa Indonesia kacau dalam bidang kesenian dan kesusatraan. Akibatnya kelompok lekra di bawah PKI bersaing dengan kelompok Manikebu yang memegang sendi-sendi kesenian, kedamaian, dan pembangunan bangsa dan Pancasila.
Ciri-ciri Angkatan 66, yaitu tema protes sosial dan politik, bercorak realisme, mementingkan isi, dan memperhatikan nilai estetis. Karya sastra yang paling dominan pada angkatan 66 ini adalah puisi yang berbau protes.
Beberapa karya sastra pada masa angkatan 66 antara lain Tirani (kumpulan puisi) karya Taufik Ismail, Pahlawan Tak dikenal (kumpulan puisi) karya Toto sudarto Bachtiar, Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan puisi) karya W.S. Rendra, Malam Jahanam (drama) karya Motinggo Busye, Kapai-Kapai (drama) karya Arifin C.Noer, Perjalanan Penganten (kisah) karya Ajip Rosidi, Seks sastra kita (Essai) karya Hartoyo Andang Jaya, Pagar Kawat berduri (roman) karya Toha Mohtar, Pelabuhan Hati (roman) karya Titis Basino, Pulang (novel) karya Toha Mochtar, Robohnya Surau Kami (Cerpen) karya A.A. Navis, Merahnya Merah, Koong, Ziarah (novel) karya Iwan simatupang, Burung-Burung Manyar (novel) karya Y.B. Mangunwijaya, Harimau-Hariamau (novel ) karya Mochtar lubis, Hati Yang Damai, Dua Dunia, Pada Sebuah Kapal, La Barka, Namaku Hiroko (novel) karya N.H. Dini.

C.    Periode Sastra Indonesia Menrut Ajib Rosidi

Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain, misalnya pada angkatan ‘45
Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
§ Terbuka
§ Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
§ Corak isi lebih realis, naturalis
§ Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
§ Penghematan kata dalam karya
§ Ekspresif
§ Sinisme dan sarkasme
§ Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Periodisasi sastra menurut Ajip Rosidi :
1)  Masa Kelahiran
a.     Periode awal tahun 1933
b.    Periode 1933 - 1942
c.     Periode 1942 - 1945
2)  Masa Perkembangan :
.a.  Periode 1945 - 1953
D.    Periode 1953 - 1960
E.     Periode 1960 - sekarang
Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya:
• Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
• Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
• Pesta (kumpulan sajak, 1956)
• Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
• Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)

• Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
• Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
• Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
• Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
Catatan :
1)    Periodisasi sastra pada masa kelahiran :•
a.    Periodisasi sastra awal tahun 1933
Periodisasi ini sering disebut juga zaman balai pustaka. Padamasa ini prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
b.    • Periodisasi sastra tahun 1933 -1942
Periodisasi ini merupakan karya sastra Indonesia setelah zaman balai pustaka.  Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
•    Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
•     Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi
c.    • Periodisasi sastra tahun 1942 s.d 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
2)    Periodisasi sastra pada masa perkembangan :
a.    Periodisasi sastra tahun 1945 – 1953
Angkatan 50 ini sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin. angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.
Nama angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra beserta kawan kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan terbaru sastrawan indonesia kepada kesusastraan Indonesia.
b.    Periodisasi sastra tahun 1953 – 1960
Istilah angkatan ‘66 yang dikemukakan oleh H.B. Jassin melalui antologinya mendapat beberapa tanggapan dari berbagai pihak pengarang, diantaranya adalah Ajib Rosidi. Ajib menganggap bahwa penamaan dan pengajuan tesis mengenai angkatan ‘66 itu kurang dapat dipertanggungjawabkan. H.B. Jasssin sendiri berpendapat bahwa angkatan ‘66 ini sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ˜66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. H.B. Jassin merumuskan bahwa sastra angkatan ‘66 adalah sastra yang diwarnai oleh protes dan perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan kemanusiaan. Berdasarkan teori tersebut H.B. Jassin berpendapat bahwa tahun 1966 merupakan tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam sastra yang kemudian disebutnya dengan nama angkatan ‘66.
Ajib Rosidi melihat bahwa teori Jassin tidak konsisten, terutama dalam menunjukkan sastrawan-sastrawan yang dianggap mewakili angkatan ‘66. A.A. Navis contohnya ia disebutkan sebagai pengarang angkatan ‘66, namun sastrawan ini muncul sejak tahun 1950-an. Hal ini sebagai dasar Ajib Rosidi dalam menanggapi pendapat H.B. Jassin. Ia tidak melihat teori Jassin ini dapat diterapkan untuk menyebut lahirnya angkatan ‘66. Masyarakat sastra pada umumnya sudah terlanjur menerima pernyataan H.B. Jassin sehingga dalam ilmu sastra pun terdapat penamaan angkatan ‘66.
           Pada saat menjelang tahun 1970-an sastra perotes sudah tidak bergema lagi seperti awal tahun 1960-1966. Sastra protes tersebut tercermin pada kumpulan sajak Taufik Ismail, yaitu: Tirani dan Benteng. Awal tahun 70-an mulai berkembang sastra populer dan bermunculan majalah hiburan, majalah wanita, majalah profesi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ‘66 tidak dimulai pada tahun 1966 tetapi pada tahun 1966 justru angkatan ‘66 mulai berakhir.

D.    Periode sastra menurun Nugroho Notosusanto

1.    Sastra Melayu Lama
Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya. Pada masa itu sastrad ipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam di Indonesia.
Ciri-ciri sastra melayu lama adalah masih menggunakan bahasa Melayu, cerita seputar istana sentris dan hal-hal tahayul, penggarang anonin, dan masih sangat terikat dengan aturan-aturan dan adat-istiadat daerah setempat.
Karya sastra yang muncul pada masa ini misalnya adalah Hikayat Hang Tuah, Hikayat Mahabarata, Hikayat Seribu Satu Malam, Cerita-cerita Panji, Tajussalatin, Bustanus Salatin.


2.  Sastra Indonesia Modern
a. Masa Kebangkitan
•    Angkatan Balai Pustaka (Periode 20)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
1.    merekrut dewan redaksi secara selektif
2.    membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3.    menentukan kriteria literer
4.    mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
1.    Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.    Alur : Alur Lurus.
3.    Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4.    Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5.    Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
6.    Corak : Romantis sentimental.
7.    Sifat : Didaktis (pendidikan)
8.    Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9.    Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10.    Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11.    Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12.    Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
•    Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)   
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan kebijakan pemerintah kolonial.
•    Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
•    Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1
1.    Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
2.    Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
3.    Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4.    Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5.    Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
6.    Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.